Inovasi dan Kreatifitas Bisnis


Sponsored Links


Inovasi dan Kreatifitas Bisnis


Beberapa tahun yang lalu ketika masa orba, Menteri Ali Wardhana meresmikan gedung Institut Manajemen Prasetiya Mulya. Kamis, Menteri Bustanil Arifin diwawancarai TVRI tentang Institut pengembangan Manajemen Indonesia yang diprakarsairiya. Menterie nteri sudah terlibat dalam pendidikan manajemen. Belum lagi yang riemprakarsai berdirinya sebuah institut teknologi. Pendidikan memang ulang punggung masa depan suatu bangsa.
Di sebuah toko buku di bandar udara Changi, Singapura, Menteri Emil Salim sempat geleng kepala membaca judul sebuah buku yang baru beredar: What They Don’t Teach You at Harvard Business School. Buku ini beberapa minggu ini berada di papan atas deretan best sellers nonfiksi majalah Time.
Judul buku yang ngeledek sungguh. Terutama bagi mereka yang pernah menapakkan kakinya di Harvard Square. Di Time itu juga pengarangnya sempat diledek. ‘Dia menulis begitu sebetulnya ‘kan karena sakit hati. Dia cuma lulusan Yale,” tulis resensi itu. Komentar ini bertentangan dengan endorsement Ray Cave, redaktur pelaksana Time, yang juga dicetak dalam buku itu: “Saya tak dapat membayangkan adanya pendidikan M.B.A. (master of business administration) tanpa mewajibkan mahasiswanya membaca buku ini.”
Jelas, sudah muncul arogansi akademis di sini. Seolah-olah Yale lebih rendah dari Harvard. Harvard yang di Iran pun nomor dua setelah Harvard yang di Harvard. Arogansi pendidikan bisnis inilah yang sebenarya jadi persoalan yang digarap Mark McCormack, pengarang buku itu. Mark jelas bukan penganut deschooling society-nya Ivan Illich. Mark memang membedakan antara pendidikan dan pengajaran, karena belajar adalah suatu proses yang berlangsung selama hayat dikandung badan. “Pengajaran di sekolah memang memberikan landasan yang paling baik untuk sistematisasi berpikir, tetapi ia juga bisa menciptakan bentuk arogansi yang naif,” tulis Mark.
Ini digambarkannya dengan kisah pertemuan dua orang sahabat. Yang satu dulunya lulus sekolah bisnis dengan nilai terbaik dan kini menjadi wakil kepala cabang sebuah bank. Yang satu lagi, yang tak pernah menunjukkan keandalannya di kelas dulu, sekarang memiliki usaha sendiri dan berkeuntungan jutaan dolar. Si bankir lalu menanyakan rahasia sukses si wirausahawan. “Gampang saja,” kata si wirausahawan. “Saya beli barang seharga dua dolar dan menjualnya lagi dengan harga lima dolar.”
Bisnis menuntut inovasi. Inovasi tidak selalu merupakan penemuan baru atau teknologi baru, tetapi juga aplikasi baru dari hal-hal yang semula sudah kuno. Bisnis mengandung kebutuhan yang terus-menerus untuk menjajaki sekeliing kita, menguji setiap ujung lemah yang mungkin bisa dilancipkan sebagai ujung tombak bagi sebuah pusat laba baru.
Sedangkan sekolah bisnis biasanya hanya mengajarkan hal-hal yang telah terjadi. Mereka memang berhasil meriset kasus-kasus besar yang terjadi dan mengajarkannya dalam kurikulum sekolah. Tetapi itu pun merupakan hal yang sudah terjadi dan dilakukan oleh pemikir lain. Cara berpikir konvensional seperti ini memang bisa menumpulkan inovasi terutama bila setamat dan sekolah bisnis seseorang menganggap bahwa proses belajarnya telah selesai.
Inovasi agaknya merupakan sesuatu yang terlalu abstrak untuk diajarkan. Sampai-sampai ada lelucon yang mengatakan, bila dulu Thomas Alfi Edison pergi ke sekolah bisnis, mungkin kita sekarang masih membaca buku di bawah lilin yang lebih besar.
Lalu tampak adanya kesenjangan antara pendidikan bisnis dan bisnis sebenarnya. Kesenjangan ini kemudian dicoba dijembatani dengan insti tusi magang atau latihan “ing-griya” (in-house) lainnya. Banyak juga buku baru yang diterbitkan untuk mengisi kesenjangan ini. Bahkan ada yang nekat menerbitkan buku One Minute Manager. Dan laris. Tetapi dapatkah buku melakukan peran itu? Buku In Search of Excellence pun mulai “digugat”. Hewlett-Packard, yang dipuji buku itu sebagai salah satu perusahaan yang berhasil, temyata kini sedang dalam kesulitan. “Soalnya, mereka menganggap buku kami sebagai teknik manajemen. Padahal, kami cuma mendeskripsikan seni manajemen yang dilakukan di beberapa perusahaan,” kilah pengarangnya.
Dus, memang tidak ada yang dapat menggantikan akal, common sence, feeling. Tidak gelar sarjana. Tidak buku-buku tebal. Sebab, di dalam akal itulah bercokol inovasi benda langka yang membuat setiap bisnis akan terus berkembang.

0 Response to "Inovasi dan Kreatifitas Bisnis"

Post a Comment