Sponsored Links
Beberapa tahun yang lalu, The Sunday Times di Singapura terbit
dengan halaman pertama atas memampangkan foto warna selebar empat kolom. Ada
tujuh orang mengacungkan kaleng Coca-Cola, dengan Senyum lebar, dalam foto itu.
Bukan, ini bukan iklan. Ini murni berita.
Berita, ya, tentang Coca-Cola itulah. Minuman dunia ini sedang melakukan
perubahan formula. Di Amerika Serikat secara besar-besaran mereka
mengampanyekan formula baru ini. Sebentar lagi formula ini akan tersebar ke
seluruh dunia, menggantikan formula lama.
Bersikap antisipatif, The Sunday Times berusaha mendatangkan
beberapa kaleng Coca-Cola formula baru itu dari AS. Ternyata, tidak gampang.
Salah seorang redaktur menulis surat kepada temannya di Hawaii minta kiriman
minuman formula baru itu. Ternyata, formula baru belum tiba di pantai Hawaii.
Akhirnya, berkat bantuan Singapore Airlines, enam kaleng Coca-Cola diterbangkan
dari Los Angeles. Ketika tiba di Singapura benda itu sempat kesasar ke bagian catering,
lalu ke sekuriti. Untung, masih bisa dikeluarkan tiga jam sebelum enam
pecandu minuman ringan berkumpul di kantor The Sunday Times untuk
menjalani uji rasa. Hasilnya: tiga orang menyukai Coca-Cola formula baru, satu
orang fanatik tetap menyukai formula lama, dan dua orang menyukai Pepsi Cola.
Dan itu memang berita. Berdasarkan salah satu definisinya, berita adalah
sesuatu yang menyangkut kepentingan orang banyak. Di antara 2,7 juta penduduk
Singapura tentulah banyak peminum Coca-Cola. Karena itu, berita tentang formula
baru Coca-Cola tentu juga merupakan kepentingan banyak orang. Berita itu bukan
artikel sponsor karena memang tidak perlu disponsori. Fraser & Neave, yang
membotolkan Coca- Cola di Singapura, bahkan tidak membantu mendatangkan keenam
kaleng formula baru itu.
Wisaksono Noeradi, pejabat humas Caltex, yang memberikan guntingan koran
itu kepada saya, mengatakan, “Ini dia yang kita tunggu di Indonesia.” Ia tak
memaksudkan Coca-Cola formula baru, tentu saja. Tetapi, suasana kemitraan
antara media massa dan kalangan bisnis. Di Indonesia, kini, ini, tidak bisa
kita bayangkan berita tentang sebuah produk baru tampil di halaman depan surat
kabar. Pertama, karena redaktur takut pembaca akan menuduh artikel semacam itu
iklan terselubung. Kedua, pembaca sendiri —
karena belum terbiasa dengan suasana demikian — memang akan menganggapnya iklan terselubung.
Repot, ‘kan?
Padahal, di negara-negara maju hal itu sudah biasa. Mungkin karena di
sana wartawan “bodrex” tidak ada. lagi pula, masyarakatnya memang sudah punya
kultur bisnis. Senin minggu lalu di halaman pertama The Asian Wall Street Journal dimuat
artikel panjang tentang kamera Alpha 7000
dari Minolta. Artikel itu bahkan tidak canggung-canggung menyebut:
“Alpha 7000 ini kamera
yang baik untuk semua orang.” Dan itu berita, bukan iklan.
Ada sebuah koran serius berperedaran nasional yang terbit di Jakarta dan
tak pernah lupa memuat berita bila ada penggantian komandan sektor kepolisian.
Tak ada salahnya, memang. Berita itu sendiri cukup perlu. Tetapi, koran itu
terlambat dua hari memberitakan kematian Ir.Yamani Hasan, presiden direktur
Unilever. Padahal, Unilever sering memasang iklan di koran itu. Yang lebih
penting, produk Unilever tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia, dan berita
tentang kematian presiden direkturnya tentulah lebih menyangkut kepentingan
banyak orang.
Pamitran antara bisnis dan media massa di Indonesia memang baru
menyangkut masalah iklan. Media massa seolah-olah hanya berkepentingan untuk
memperoleh iklan dari dunia bisnis. Tetapi, ketika dunia bisnis memerlukan
media massa untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, apakah yang secara
resiprokal dapat dilakukan media massa? “Wah, maaf saja, kami khawatir diduga
menerima amplop dari Anda.”
Berita baik tentang bisnis memang jarang masuk media massa. Tetapi, berita
buruk tentang bisnis selalu cepat menemukan jalannya ke kolom-kolom surat kabar
dan majalah. Baru-baru ini sebuah koran Surabaya memuat berita ini: Diduga
perusahaan X memanipulasikan pajak Rp 1,5
milyar. Dua koran Surabaya lainnya yang tidak memuat berita itu
langsung dituduh makan suap. Padahal, berita itu ditiupkan oleh seorang bekas
karyawan yang dipecat, dan setelah diverifikasi ternyata belum pantas naik
koran.
Tanri Abeng, M.B.A., Presiden Direktur Multi Bintang Indonesia, dalam
pemyataannya yang “diiklankan” tentang pers nasional mengatakan bahwa koran di
Indonesia lebih cenderung berpolitik. Ia menyarankan bahwa dengan Iebih banyak
memuat berita tentang bisnis, maka suasana bisnis dan berwiraswasta di
Indonesia tentu akan membaik. Bagaimana menciptakan suasana itu? Orang-orang
bisnis sendiri harus punya sikap kemitraan dengan kalangan pers. Jangan hanya
bikin jumpa pers kalau punya kabar baik. Atau bagi-bagi amplop kalau ada berita
buruk yang perlu diredam.
0 Response to "Manajemen Iklan Untuk Bisnis"
Post a Comment